Aturan PLTS Atap Diperluas, Industri Bisa Jual Listrik ke PLN

Tim, CNN Indonesia
Minggu, 30/09/2018 13:04
Aturan PLTS Atap Diperluas, Industri Bisa Jual Listrik ke PLN

Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). (ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf)

Jakarta, CNN Indonesia — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana mengatur pemanfaatan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap untuk sektor industri. Pengaturan tersebut rencananya bakal dimuat dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang PLTS Atap yang saat ini tengah disusun.

Dalam draf Rancangan Permen (Rapermen) PLTS Atap yang diterima CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu, konsumen PLN yang menjadi cakupan peraturan tersebut hanya konsumen perseorangan dan badan usaha, di luar sektor industri.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana menjelaskan dengan masuknya sektor industri ke dalam cakupan Permen PLTS Atap, maka sektor industri yang menggunakan PLTS Atap dapat menjual listriknya ke PLN. Namun, ia mengingatkan kapasitas listrik surya atap industri cukup besar juga diiringi dengan kebutuhan yang besar. Dengan demikian, ia memperkirakan tak banyak daya yang bisa diekspor industri ke PLN.

“Industri kan sebenarnya tidak semata-mata untuk penghematan tetapi industri memang harus menggunakan energi bersih,” ujar Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Rida Mulyana di kantor Kementerian ESDM, Jumat (29/8).

Dengan masukkan sektor industri, Kementerian ESDM harus menyinkronkan beleid Pengaturan Penggunaan Sistem PLTS Atap dengan Permen ESDM Nomor 1 tahun 2017 tentang Kebijakan Operasi Paralel Pembangkit Tenaga Listrik dengan Jaringan Tenaga Listrik PLN.

“Dalam Permen ESDM/2017, kalau kita pasang pembangkit dan masuk ke grid kita akan kena charge (biaya),” jelasnya.

Rencananya, Permen ESDM terkait PLTS Atap bakal mengatur transaksi kredit energi listrik dari konsumen ke PLN (Persero). Transaksi kredit dari Sistem PLTS Atap dihitung setiap bulan berdasarkan energi listrik yang disalurkan dari sistem jaringan PLN ke sistem instalasi konsumen PLN yang memasang Sistem PLTS Atap (energi ekspor) dikurangi energi listrik yang diterima PLN dari sistem instalasi pelanggan Sistem PLTS Atap (energi impor).

Jumlah energi listrik yang diekspor oleh PLN diperhitungkan dengan menggunakan nilai kWh ekspor yang tercatat dalam meteran. Sementara, jumlah energi listrik yang diimpor dihitung berdasarkan nilai kWh impor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali faktor konversi. Faktor konversi dihitung berdasarkan BPP Pembangkitan Nasional dibagi dengan Tarif Tenaga Listrik sesuai golongan tarif.


Lebih lanjut, menurut Rida, dampak penjualan energi listrik dari konsumen pengguna PLTS Atap ke keuangan PLN tidak signifikan. Berdasarkan simulasinya, kebijakan tersebut hanya akan mengurangi pendapatan PLN tak sampai Rp300 miliar per bulan. Jumlah itu relatif kecil jika dibandingkan pendapatan PLN yang bisa mencapai Rp20 triliun per bulan.

“Tetapi kami mendapatkan benefit dengan investasi masuk, porsi EBT makin tinggi, lingkungan makin bagus, dan kepentingan industri juga terakomodir karena produknya akan disebut produk hijau,” ujarnya.

Rida mengungkapkan, saat ini, rancangan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tersebut telah berada di Biro Hukum Kementerian ESDM dan tinggal menunggu diteken oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan. Dengan demikian, beleid tersebut dapat terbit dalam waktu dekat.(sfr/agi)